Ketika mendengar kota Yogyakarta akan langsung terbesit Malioboro, Candi Borobudur, dimana itu adalah objek wisata yang terkenal yang dimiliki oleh kota Yogya. Orang – orang yang berkunjung untuk berlibur disana tidak akan melewatkan hal tersebut, karena memang objek wisata tadi benar – benar mengidentikan kota Yogyakarta. Tetapi ada hal lain yang mengambar kota yang hangat dan asri ini, yaitu budaya yang mereka miliki. Dimana penduduknya itu masih melestarikan kebudayaan yang dimiliki dari turun temurun leluhurnya, sehingga inilah yang menjadikan kota Yogyakarta menjadi kota yang asri serta kental dalam kearifan lokalnya. Membuat para wisatawan tertarik untuk datang kesini, untuk berlibur sekalian mengetahui kebudayaan yang dimiliki oleh Yogyakarta.

Saah satu budaya yang masih terus bersinar sampai sekarang adalah Tarian tradisional. Banyak sekali tarian tradisional yang berkembang di Yogyakarta. Salah satunya adalah tarian Beksan Lawung Agung, dimana tarian ini merupakan tarian pusaka dengan kisah para prajurit bertombak yang saling beradu ketangkasan. Tarian ini lahir dari Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755 sampai 1792, Beliau terinspirasi dari perlombaan watangan. Apa itu watangan? Watangan merupakan uji ketangkasan berkuda sembari memainkan tombak yang digunakan untuk Abi Dalem Prajurit di masa lampau. Biasanya watangan ini dimainkan pada hari Sabtu saja, sehingga disebut juga dengan Seton.

Para prajurit bertombak  yang sedang beradu ketangkasan, menggunakan tombak dengan ujung yang tumpul dan mereka itu disebut dengan Lawung. Lawung ini dipergunakan untuk menyerang para lawannya sampai mereka jatuh dan habis. Lomba Lawung ini menjadi lomba yang populer dikalangan penduduka sana, waktu itu mereka biasanya mengadakan perlombaan ini di Alun – Alun Utara. Tidak hanya tariannya saja yang dipertunjukkan, rasanya hambar saja bila tarian tidak dilengkapi dengan musik yang mengiringinya. Disini tarian ii diiringi dengan musik dari gamelan Kiai Guntur Laut yang memainkan Gendhing Monggang.

Tari Beksan Lawung Ageng ini mengkisahkan tentang kondisi para prajurit yang sedang berlatih untuk berperang melawan musuh – musuhnya, latihan yang mereka lakukan tersebut adalah adu ketangkasan di dalam memainkan tombak. Kondisi atau suasana seperti ini tidak jauh berbeda seperti watangan yang sedang dipertunjukkan juga. Untuk gerakan tarian yang dimilikinya itu memiliki elemen yang kuat seperti terdapat jiwa – jiwa pahlawan yang berada di dalamnya dengan karakternya yang maskulin. Terdapat dialog yang mengisi tarian ini, bahasa yang digunakan tidak sepenuhnya bahasa Jawa melainkan bahasa campuran yaitu terdapat bahasa Madura, Melayu, hingga Jawa.

Di dalam tarian tradisional ini memiliki peranan, jumlahnya itu terdapat lima seperti Jajar, Lurah, Botoh, Ploncon, dan Salaotho. Kurang lebih peran dari para penari ini merupakan tingkatan yang dimiliki di dalam tarian ini, seperti Jajar itu adalah tingkat atau pangkat yang paling rendah untuk seorang prajurit. Lalu untuk Lurah itu para prajurit yang sudah matang  di dalam posisinya. Lurah serta Jajar ini akan saling berhadapan di dalam pertunjukkan. Kemudian sisa dari pertunjukkan yang lainnya adalah Botoh yang menjadi pelatih dalam ketangkasan para prajurit, Ploncon itu menjadi tokoh yang memegang tombak yang nantinya akan dipakai oleh Jajar serta Lurah. Dan yang terakhir adalah Salaotho dimana mereka adalah para penari atau penampil.

Sampai sekarang tarian ini masih sering dipertunjukkan untuk upacara kenegaraan, seperti merayaka pernikahan agung putra dan putri Sultan yang biasanya di pertunjukkan di Kepatihan. Itulah sekilas sejarah dari Tari Beksan Lawung Ageng.